Jurnalisme adalah kegiatan mengumpulkan, menulis, mengedit, menerbitkan berita melalui koran dan majalah atau memancarkan berita melalui radio dan televisi.
Jurnalisme merupakan bagian dari komunikasi massa secara luas. Kendati pengertian jurnalisme kini mencakup medium yang sangat luas (termasuk juga radio, televisi bahkan bioskop), medium dasar dari jurnalisme adalah koran alias suratkabar. Wartawan radio dan televisi umumnya mengadopsi metode dan prinsip jurnalisme tradisional pada koran dan majalah.
Prototip awal dari koran masa kini adalah pengumuman-pengumuman resmi yang dikenal pada Zaman
Romawi sebagai Acta Diurna atau Gazzetta. Medium perkabaran serupa juga dikenal di Cina sebagai
Tching-pao atau "Kabar dari Istana" yang muncul setiap hari sekitar Abad ke-8 M. Di Romawi maupun Cina itu, pengumuman biasanya disebarkan dengan medium tulisan tangan antara pribadi atau dengan mulut.
Revolusi persuratkabaran dipicu penemuan mesin cetak oleh Johan Guttenberg pada 1450. Koran cetakan yang berbentuk seperti sekarang ini muncul pertama kalinya pada 1457 di Nurenberg, Jerman. Salah satu peristiwa besar yang pertama kali diberitakan secara luas di suratkabar adalah pengumuman hasil ekspedisi
Christoper Columbus ke Benua Amerika pada 1493.
Pada Abad ke-17, di Inggris kaum bangsawan umumnya memiliki penulis-penulis yang membuat berita untuk kepentingan sang bangsawan. Para penulis itu membutuhkan suplai berita. Organisasi pemasok berita
(sindikat wartawan atau penulis) bermunculan bersama maraknya jumlah koran yang diterbitkan. Pada saat yang sama koran-koran eksperimental, yang bukan berasal dari kaum bangsawan mulai pula diterbitkan pada Abad ke-17 itu, terutama di Prancis.
Pada Abad ke-18, jurnalisme lebih merupakan bisnis dan alat politik ketimbang sebuah profesi. Komentar-komentar tentang politik, misalnya, sudah bermunculan pada masa ini. Demikian pula ketrampilan desain/perwajahan mulai berkembang dengan kian majunya teknik percetakan.
Perkembangan awal jurnalisme ini juga mulai diwarnai dengan perjuangan panjang kebebasan pers – pergulatan abadi hingga kini antara wartawan dan penguasa. Pers Amerika dan Eropa berhasil menyingkirkan batu-batu sandungan sensorsip pada akhir Abad ke-18, dan memasuki era jurnalisme modern seperti yang kita kenal sekarang.
Perkembangan lebih lanjut dalam percetakan – penemuan pulp (bubur kertas), mesin-mesin percetakan baru – dan teknologi lain (seperti telpon) membuat proses produksi koran kian cepat kian cepat, murah
dan massal.
Sampai dengan awal Abad ke-19, koran tak lebih dari sekadar perpanjangan tangan dari pemerintah atau partai politik. Perceraian antara jurnalisme dan politik terjadi pada sekitar 1825-an, sehingga wajah jurnalisme sendiri menjadi lebih jelas: independen dan berwibawa. Sejumlah jurnalis yang muncul pada abad itu bahkan lebih berpengaruh ketimbang tokoh-tokoh politik atau pemerintahan. Dan jadilah jurnalisme sebagai bentuk profesi yang mandiri. Lebih jauh, jurnalisme juga muncul sebagai cabang bisnis baru yang makmur. Pemodal-pemodal basar meramalkan bisnis ini dalam bentuk investasi, pencaplokan dan merger.
Perkembangan jurnalisme di Indonesia boleh dikata merupakan replika dari seluruh perkembangan tadi.
Bermula pada Abad ke-19 (lewat tokoh seperti Tirta Adisuryo), memasuki Abad ke-20 sebagai pers perjuangan (perpanjangan tangan politik) hingga 1965-an. Tapi, sejak Orde Baru koran menjadi lebih independen – bercerai dengan politik. Dan perkembangannya sebagai lembaga bisnis menjadi-jadi pada dasawarsa 1980-an. Seperti di banyak negara maju, koran Indonesia mulai menjadi perusahaan pencetak laba sekaligus lembaga quasi publik.
Untuk memahami sistem dan prinsip kerja jurnalisme besar, mungkin kita bisa melihat miniaturnya:
penerbitan majalah dinding atau pers kampus. Di situ Anda mengumpulkan bahan, menulis, mengedit dan
menerbitkannya (menulis dengan tangan, mencetaknya dengan mesin stensil, atau yang mutakhir memanfaatkan computer desktop publishing).
Tipikal organisasi jurnalistik adalah sebagai berikut, (semuanya disebut wartawan atau jurnalis, tapi masing-masing memiliki jenjang):
- Reporter/fotografer: mengumpulkan bahan tulisan dari wawancara, riset perpustakaan, investigasi. Seorang koordinator reportase dibutuhkan untuk memimpin sejumlah reporter.
- Redaktur/penanggung jawab rubrik: menuliskan berita dari bahan- bahan yang dikumpulkan reporter, memperkaya perspektif. Redaktur foto: memilih foto yang layak diturunkan.
- Redaktur pelaksana: bertanggungjawab atas turunya naskah, mengkaji ulang tulisan redaktur, memutuskan mana yang layak atau tak layak diturunkan.
- Pemimpin redaksi: bertanggungjawab atas semua kegiatan jurnalistik itu.
Berbagai medium jurnalistik
Koran pada umumnya menekankan dirinya pada berita-berita mutakhir (kemarin, tadi malam). Sementara radio menekankan berita lebih mutakhir lagi (tadi pagi, beberapa jam lalu). Sedang majalah menyajikan berita secara lebih mendalam, disertai analisis dan background yang lebih luas. Suratkabar mungkin adalah
istilah yang salah kaprah. Sebab, tidak semua isinya adalah kabar (berita) – disamping editorial, koran juga menerima sumbangan dari luar tulisan- tulisan esai (dari para kolomnis) dan belum lagi iklan. Koran juga seringkali menampilkan feature dengan tujuan lebih menghibur ketimbang memberikan informasi.
Majalah juga bisa keseluruhan atau sebagian menyajikan berita. Sedang di radio atau televisi, seringkali
kabur batas antara berita dan hiburan. Jurnalisme film? Sinematografi dan jurnalisme bersinggungan misalnya dalam film-film ilmu pengetahuan dan film dokumenter.
Koran (seperti juga radio dan televisi) biasanya tidak hanya melaporkan berita (yang obyektif), tapi
menampilkan berita yang berasal dari investigas atau wawancara para wartawannya. Dengan demikian, koran juga membuat berita. Lebih jauh, koran juga seringkali menjadi sarana kampanye sebuah perjuangan yang dipandang kayak. Seringkali susah memastikan dimana batas antara reportase obyektif dengan kampanye tadi. Bagaimanapun, satu hal yang perlu dicatat adalah upaya untuk mencapai reportase yang bisa dipercaya tanpa mengesampingkan hak untuk memperjuangkan sesuatu yang dipandang merupakan kepentingan publik.
Dalam suasana persaingan yang kian ketat, masing-masing bisnis media massa (radio, TV, koran, majalah) berusaha menampilkan yang terbaik. Tidak hanya dari kemasan fisik, tapi juda dalam penggalian dan teknis penyajian beritanya. Koran atau media yang bagus, laku dan berwibawa, mungkin dibentuk berkat resep-resep seperti ini:
- sikap redaksional yang independen, fair, bebas dari sensor
- penggalian bahan secara lebih cepat, tapi mendalam (melalui investigative dan interpretative reporting, misalnya) dan bersifat menyingkap apa yang terjadi di balik sebuah peristiwa (revealing)
- gaya penulisan yang segar (melalui neswfeature atau feature)
- kemasan (mutu cetak, perwajahan) yang memikat.
Dalam lapangan jurnalisme, persaingan tak hanya terjadi antar suratkabar atau antara majalah, tapi juga antara majalah atau koran di satu pihak dengan televisi di lain pihak. Namun, kendati televisi memiliki jangkauan seketika dalam lingkup wilayah yang luas, koran/majalah juga memiliki kelebihannya sendiri
dibanding media broabcast itu. Bahkan sebuah penelitian pada 1979 di AS menunjukkan bahwa 51%
responden lebih percaya kepada koran 38% yang percaya pada berita televisi.
Kelebihan lain koran:
1. secara teratur bisa menyajikan berita dan interpretasi secara mendalam.
2. relatif murah
3. mudah didokumentasikan (dikliping)
4. bisa dibaca sesuai kelonggaran waktu konsumennya
5. lebih jelas dalam menyajikan tabel statistik, peta, bagan, grafik dan medium gambar lainnya.
Jurnalisme sering dipandang sebagai sarana demokratisasi. Tapi, jurnalis bukanlah dewa atau malaikat yang tanpa salah dan dosa. Karenanya, mesti ada sesuatu yang bisa membatasinya. Dengan kata lain wartawan memiliki hak dan kewajiban yang biasanya tercantum dalam kode etik – suatu hal yang batas-batasnya terus diperdebatkan hingga kini.
Jurnalisme merupakan bagian dari komunikasi massa secara luas. Kendati pengertian jurnalisme kini mencakup medium yang sangat luas (termasuk juga radio, televisi bahkan bioskop), medium dasar dari jurnalisme adalah koran alias suratkabar. Wartawan radio dan televisi umumnya mengadopsi metode dan prinsip jurnalisme tradisional pada koran dan majalah.
Prototip awal dari koran masa kini adalah pengumuman-pengumuman resmi yang dikenal pada Zaman
Romawi sebagai Acta Diurna atau Gazzetta. Medium perkabaran serupa juga dikenal di Cina sebagai
Tching-pao atau "Kabar dari Istana" yang muncul setiap hari sekitar Abad ke-8 M. Di Romawi maupun Cina itu, pengumuman biasanya disebarkan dengan medium tulisan tangan antara pribadi atau dengan mulut.
Revolusi persuratkabaran dipicu penemuan mesin cetak oleh Johan Guttenberg pada 1450. Koran cetakan yang berbentuk seperti sekarang ini muncul pertama kalinya pada 1457 di Nurenberg, Jerman. Salah satu peristiwa besar yang pertama kali diberitakan secara luas di suratkabar adalah pengumuman hasil ekspedisi
Christoper Columbus ke Benua Amerika pada 1493.
Pada Abad ke-17, di Inggris kaum bangsawan umumnya memiliki penulis-penulis yang membuat berita untuk kepentingan sang bangsawan. Para penulis itu membutuhkan suplai berita. Organisasi pemasok berita
(sindikat wartawan atau penulis) bermunculan bersama maraknya jumlah koran yang diterbitkan. Pada saat yang sama koran-koran eksperimental, yang bukan berasal dari kaum bangsawan mulai pula diterbitkan pada Abad ke-17 itu, terutama di Prancis.
Pada Abad ke-18, jurnalisme lebih merupakan bisnis dan alat politik ketimbang sebuah profesi. Komentar-komentar tentang politik, misalnya, sudah bermunculan pada masa ini. Demikian pula ketrampilan desain/perwajahan mulai berkembang dengan kian majunya teknik percetakan.
Perkembangan awal jurnalisme ini juga mulai diwarnai dengan perjuangan panjang kebebasan pers – pergulatan abadi hingga kini antara wartawan dan penguasa. Pers Amerika dan Eropa berhasil menyingkirkan batu-batu sandungan sensorsip pada akhir Abad ke-18, dan memasuki era jurnalisme modern seperti yang kita kenal sekarang.
Perkembangan lebih lanjut dalam percetakan – penemuan pulp (bubur kertas), mesin-mesin percetakan baru – dan teknologi lain (seperti telpon) membuat proses produksi koran kian cepat kian cepat, murah
dan massal.
Sampai dengan awal Abad ke-19, koran tak lebih dari sekadar perpanjangan tangan dari pemerintah atau partai politik. Perceraian antara jurnalisme dan politik terjadi pada sekitar 1825-an, sehingga wajah jurnalisme sendiri menjadi lebih jelas: independen dan berwibawa. Sejumlah jurnalis yang muncul pada abad itu bahkan lebih berpengaruh ketimbang tokoh-tokoh politik atau pemerintahan. Dan jadilah jurnalisme sebagai bentuk profesi yang mandiri. Lebih jauh, jurnalisme juga muncul sebagai cabang bisnis baru yang makmur. Pemodal-pemodal basar meramalkan bisnis ini dalam bentuk investasi, pencaplokan dan merger.
Perkembangan jurnalisme di Indonesia boleh dikata merupakan replika dari seluruh perkembangan tadi.
Bermula pada Abad ke-19 (lewat tokoh seperti Tirta Adisuryo), memasuki Abad ke-20 sebagai pers perjuangan (perpanjangan tangan politik) hingga 1965-an. Tapi, sejak Orde Baru koran menjadi lebih independen – bercerai dengan politik. Dan perkembangannya sebagai lembaga bisnis menjadi-jadi pada dasawarsa 1980-an. Seperti di banyak negara maju, koran Indonesia mulai menjadi perusahaan pencetak laba sekaligus lembaga quasi publik.
Untuk memahami sistem dan prinsip kerja jurnalisme besar, mungkin kita bisa melihat miniaturnya:
penerbitan majalah dinding atau pers kampus. Di situ Anda mengumpulkan bahan, menulis, mengedit dan
menerbitkannya (menulis dengan tangan, mencetaknya dengan mesin stensil, atau yang mutakhir memanfaatkan computer desktop publishing).
Tipikal organisasi jurnalistik adalah sebagai berikut, (semuanya disebut wartawan atau jurnalis, tapi masing-masing memiliki jenjang):
- Reporter/fotografer: mengumpulkan bahan tulisan dari wawancara, riset perpustakaan, investigasi. Seorang koordinator reportase dibutuhkan untuk memimpin sejumlah reporter.
- Redaktur/penanggung jawab rubrik: menuliskan berita dari bahan- bahan yang dikumpulkan reporter, memperkaya perspektif. Redaktur foto: memilih foto yang layak diturunkan.
- Redaktur pelaksana: bertanggungjawab atas turunya naskah, mengkaji ulang tulisan redaktur, memutuskan mana yang layak atau tak layak diturunkan.
- Pemimpin redaksi: bertanggungjawab atas semua kegiatan jurnalistik itu.
Berbagai medium jurnalistik
Koran pada umumnya menekankan dirinya pada berita-berita mutakhir (kemarin, tadi malam). Sementara radio menekankan berita lebih mutakhir lagi (tadi pagi, beberapa jam lalu). Sedang majalah menyajikan berita secara lebih mendalam, disertai analisis dan background yang lebih luas. Suratkabar mungkin adalah
istilah yang salah kaprah. Sebab, tidak semua isinya adalah kabar (berita) – disamping editorial, koran juga menerima sumbangan dari luar tulisan- tulisan esai (dari para kolomnis) dan belum lagi iklan. Koran juga seringkali menampilkan feature dengan tujuan lebih menghibur ketimbang memberikan informasi.
Majalah juga bisa keseluruhan atau sebagian menyajikan berita. Sedang di radio atau televisi, seringkali
kabur batas antara berita dan hiburan. Jurnalisme film? Sinematografi dan jurnalisme bersinggungan misalnya dalam film-film ilmu pengetahuan dan film dokumenter.
Koran (seperti juga radio dan televisi) biasanya tidak hanya melaporkan berita (yang obyektif), tapi
menampilkan berita yang berasal dari investigas atau wawancara para wartawannya. Dengan demikian, koran juga membuat berita. Lebih jauh, koran juga seringkali menjadi sarana kampanye sebuah perjuangan yang dipandang kayak. Seringkali susah memastikan dimana batas antara reportase obyektif dengan kampanye tadi. Bagaimanapun, satu hal yang perlu dicatat adalah upaya untuk mencapai reportase yang bisa dipercaya tanpa mengesampingkan hak untuk memperjuangkan sesuatu yang dipandang merupakan kepentingan publik.
Dalam suasana persaingan yang kian ketat, masing-masing bisnis media massa (radio, TV, koran, majalah) berusaha menampilkan yang terbaik. Tidak hanya dari kemasan fisik, tapi juda dalam penggalian dan teknis penyajian beritanya. Koran atau media yang bagus, laku dan berwibawa, mungkin dibentuk berkat resep-resep seperti ini:
- sikap redaksional yang independen, fair, bebas dari sensor
- penggalian bahan secara lebih cepat, tapi mendalam (melalui investigative dan interpretative reporting, misalnya) dan bersifat menyingkap apa yang terjadi di balik sebuah peristiwa (revealing)
- gaya penulisan yang segar (melalui neswfeature atau feature)
- kemasan (mutu cetak, perwajahan) yang memikat.
Dalam lapangan jurnalisme, persaingan tak hanya terjadi antar suratkabar atau antara majalah, tapi juga antara majalah atau koran di satu pihak dengan televisi di lain pihak. Namun, kendati televisi memiliki jangkauan seketika dalam lingkup wilayah yang luas, koran/majalah juga memiliki kelebihannya sendiri
dibanding media broabcast itu. Bahkan sebuah penelitian pada 1979 di AS menunjukkan bahwa 51%
responden lebih percaya kepada koran 38% yang percaya pada berita televisi.
Kelebihan lain koran:
1. secara teratur bisa menyajikan berita dan interpretasi secara mendalam.
2. relatif murah
3. mudah didokumentasikan (dikliping)
4. bisa dibaca sesuai kelonggaran waktu konsumennya
5. lebih jelas dalam menyajikan tabel statistik, peta, bagan, grafik dan medium gambar lainnya.
Jurnalisme sering dipandang sebagai sarana demokratisasi. Tapi, jurnalis bukanlah dewa atau malaikat yang tanpa salah dan dosa. Karenanya, mesti ada sesuatu yang bisa membatasinya. Dengan kata lain wartawan memiliki hak dan kewajiban yang biasanya tercantum dalam kode etik – suatu hal yang batas-batasnya terus diperdebatkan hingga kini.
0 komentar:
Posting Komentar
Berikan Pendapat Anda!!!
Caution!!!
1. Sampaikan Komentar anda sekarang!!! Mumpung saya lagi ada waktu nge-reply ^_^